Upaya Pemerintah Yaman Satukan Kekuatan dalam Negeri Paska Ekspansi STC - Manado Keren

Post Top Ad

Upaya Pemerintah Yaman Satukan Kekuatan dalam Negeri Paska Ekspansi STC

Upaya Pemerintah Yaman Satukan Kekuatan dalam Negeri Paska Ekspansi STC

Share This
Ketegangan politik yang menyelimuti Yaman kembali mencapai titik nadir setelah serangkaian peristiwa militer dramatis mengguncang wilayah selatan negara tersebut. Eskalasi ini ditandai dengan serangan udara yang menghantam posisi pasukan Dewan Transisi Selatan atau STC di wilayah Wadi Nahb, Hadramaut, yang memicu kekhawatiran akan pecahnya perang saudara baru di tengah konflik yang belum usai.

Insiden pengeboman tersebut bukan sekadar aksi militer biasa melainkan sebuah pesan keras dari pemerintahan PLC yaman yang didukung koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi. Serangan udara ini terjadi setelah pasukan STC secara terang-terangan menolak untuk menarik diri dari wilayah-wilayah strategis yang baru saja mereka kuasai di Hadramaut dan Al-Mahra.

Krisis ini berawal dari pergerakan militer sepihak yang dilakukan oleh STC pada awal Desember 2025 untuk memperluas pengaruh mereka di wilayah timur.

Langkah tersebut dipandang oleh pemerintah pusat dan pendukung regionalnya sebagai ancaman serius terhadap integritas wilayah serta stabilitas politik yang selama ini diupayakan.

Presiden Dewan Kepemimpinan Presiden Yaman Dr. Rashad al-Alimi segera mengambil langkah diplomatik cepat dengan bertolak menuju Arab Saudi untuk melakukan konsultasi darurat. Dalam pernyataannya sebelum meninggalkan Aden, Al-Alimi menegaskan bahwa setiap tindakan sepihak yang dilakukan oleh faksi mana pun hanya akan memperlemah posisi pemerintah dalam menghadapi musuh bersama yakni kelompok Houthi.

Al-Alimi secara spesifik memperingatkan bahwa perselisihan internal antara kelompok-kelompok yang seharusnya bersatu dalam koalisi justru akan menjadi keuntungan besar bagi proyek Iran di Yaman. Ia menekankan bahwa musuh utama yang seharusnya menjadi fokus adalah kelompok milisi Houthi yang masih menguasai wilayah utara termasuk ibu kota Sanaa.

Jika ditarik jauh ke belakang, kekacauan yang terjadi saat ini merupakan kelanjutan dari sejarah panjang instabilitas yang puncaknya terjadi pada tahun dua ribu empat belas. Saat itu, peta politik Yaman berubah total ketika kelompok Houthi berhasil memasuki dan menduduki Sanaa tanpa perlawanan militer yang berarti dari institusi negara.

Pada saat Houthi memasuki Sanaa, posisi Presiden Yaman dijabat oleh Abd Rabbuh Mansur Hadi yang merupakan suksesor dari rezim sebelumnya. Namun, kepemimpinan Hadi saat itu dinilai sangat lemah dan tidak mampu mengendalikan faksi-faksi militer yang terpecah belah oleh kepentingan politik yang saling bertentangan.

Mantan Presiden Ali Abdullah Saleh memegang peranan kunci dan sangat kontroversial dalam peristiwa jatuhnya Sanaa pada tahun dua ribu empat belas tersebut. Meski telah digulingkan dalam gelombang Arab Spring, Saleh masih memiliki pengaruh luar biasa terhadap unit-unit militer elit yang dikenal sebagai Garda Republik.

Saleh secara pragmatis menjalin aliansi taktis dengan kelompok Houthi yang selama bertahun-tahun sebelumnya merupakan musuh bebuyutannya dalam enam perang berbeda. Langkah ini dilakukan Saleh sebagai bentuk balas dendam terhadap lawan-lawan politiknya yang dianggap telah mengkhianatinya saat ia dipaksa turun dari kekuasaan.

Sementara itu, Partai Islah yang merupakan salah satu kekuatan politik terbesar di Yaman saat itu berada dalam posisi yang sangat terjepit dan sulit.

Sebagai musuh ideologis Houthi dan rival politik Saleh, Al-Islah dituduh oleh banyak pihak telah membiarkan ibu kota jatuh begitu saja tanpa memberikan perlawanan yang gigih.

Pimpinan Partai Islah berdalih bahwa keputusan untuk tidak melawan adalah upaya untuk mencegah pertumpahan darah yang jauh lebih besar di wilayah perkotaan. Mereka mengklaim bahwa mustahil bagi sebuah partai politik untuk memikul beban pertahanan negara ketika kementerian pertahanan dan aparat keamanan justru memilih untuk bersikap netral.

Kekecewaan Al-Islah semakin dalam ketika melihat instruksi dari pimpinan militer pusat saat itu yang justru melarang tentara untuk melepaskan tembakan ke arah kelompok Houthi. Kondisi ini menciptakan kekosongan kekuasaan yang secara efektif memberikan karpet merah bagi Houthi untuk menguasai pusat-pusat pemerintahan di wilayah utara.

Kembali ke masa kini, posisi pemerintah sebagai pemimpin koalisi menjadi semakin sulit karena mereka kini harus menghadapi pembangkangan dari faksi-faksi internalnya sendiri. STC yang lahir di era Hadi untuk reprenstasibkekuatan Selatan itu merupakan sekutu penting dalam perang melawan Houthi kini justru menjadi target serangan udara Saudi karena perbedaan visi mengenai masa depan wilayah selatan.

Tuntutan STC untuk memisahkan diri dari Yaman Utara dan membentuk negara berdaulat di selatan terus membentur tembok besar yang dibangun oleh pemerintah pusat. Perebutan kontrol atas ladang minyak di Hadramaut menjadi sumbu ledak yang membuat persahabatan lama antara faksi-faksi anti-Houthi ini mulai retak secara permanen.

Muncul spekulasi mengenai kemungkinan adanya aliansi taktis baru antara kelompok Houthi dan STC karena kesamaan musuh yang saat ini mereka hadapi yakni pemerintahan PLC.

Meskipun secara ideologi kedua kelompok ini sangat berseberangan, dinamika politik Yaman yang cair sering kali menciptakan kejutan-kejutan yang tidak terduga sebelumnya.

Namun, potensi kerja sama antara Houthi dan STC diprediksi akan menemui jalan buntu karena perbedaan tujuan akhir yang sangat mendasar dan prinsipil. Houthi menginginkan kekuasaan tunggal atas seluruh wilayah Yaman sementara STC hanya fokus pada kemerdekaan wilayah selatan dengan batas wilayah sebelum tahun sembilan puluh.

Kini mata dunia tertuju pada langkah diplomatik yang sedang ditempuh oleh Presiden Al-Alimi di Riyadh untuk meredakan situasi di Wadi Nahb.

Kegagalan dalam mencapai kesepakatan damai antara pemerintah dan STC bisa berujung pada keruntuhan total dewan kepemimpinan yang telah dibentuk dengan susah payah.

Jika konflik internal ini terus berlanjut, rakyat Yamanlah yang akan menanggung beban kemanusiaan paling berat akibat perang yang tak kunjung berakhir. Ketidakpastian ekonomi dan hancurnya infrastruktur publik akan semakin parah jika energi pemerintah habis terkuras untuk memadamkan pemberontakan dari dalam koalisi sendiri.

Harapan kini bertumpu pada kemampuan para pemimpin politik untuk mengutamakan kepentingan nasional di atas ambisi kelompok maupun pribadi demi masa depan Yaman. Sejarah kelam jatuhnya Sanaa harus menjadi pelajaran berharga bahwa perpecahan di dalam tubuh pemerintah hanya akan mengundang kehancuran yang jauh lebih dahsyat bagi seluruh rakyat.

Saat Hadi Sempat Akomodasi Houthi

Secara teknis ada sebuah periode singkat di mana Presiden Abd Rabbuh Mansur Hadi mencoba mengakomodasi kelompok Houthi ke dalam sistem pemerintahan melalui sebuah perjanjian formal.

Berikut adalah penjelasan mengenai upaya pembentukan koalisi dan bagaimana posisi para aktor utama saat itu:

1. Perjanjian Perdamaian dan Kemitraan Nasional (PNPA)

Setelah Houthi menguasai Sana'a pada September 2014, Presiden Hadi tidak langsung menyatakan perang. Sebaliknya, di bawah pengawasan PBB, ia menandatangani "Peace and National Partnership Agreement" (PNPA).

Perjanjian ini mengharuskan Hadi untuk:

 * Membentuk pemerintahan baru yang menyertakan perwakilan dari kelompok Houthi dan gerakan separatis Selatan (Hirak).

 * Menunjuk penasihat kepresidenan dari kalangan Houthi.

 * Sebagai imbalannya, Houthi seharusnya menarik militan mereka dari ibu kota dan menyerahkan senjata yang mereka sita dari militer.

2. Kegagalan Koalisi

Meskipun pemerintahan baru sempat terbentuk di bawah Perdana Menteri Khaled Bahah, "koalisi" ini tidak pernah benar-benar berjalan secara efektif karena:

 * Houthi Tetap Berkuasa: Milisi Houthi menolak meninggalkan Sana'a dan justru memperketat kontrol mereka atas lembaga-lembaga negara.

 * Posisi Ali Abdullah Saleh: Saleh, melalui loyalisnya di militer dan parlemen, terus menyabotase pemerintahan Hadi dari dalam untuk memudahkan jalan bagi Houthi (dan harapannya, jalan bagi putranya untuk berkuasa kembali).

 * Penyanderaan Presiden: Ketegangan memuncak pada Januari 2015 ketika Houthi mengepung istana kepresidenan dan menempatkan Hadi di bawah tahanan rumah, yang akhirnya memaksa Hadi untuk mengundurkan diri (meskipun kemudian ia mencabut pengunduran diri tersebut setelah melarikan diri ke Aden).

3. Posisi Al-Islah dalam "Koalisi" Tersebut
Partai Al-Islah berada dalam posisi yang sangat terjepit selama periode ini:

 * Mereka adalah musuh utama Houthi di lapangan, namun secara resmi mereka adalah bagian dari pemerintahan Hadi yang menandatangani perjanjian damai dengan Houthi.

 * Houthi menggunakan periode "kemitraan" ini untuk secara sistematis menyerang kantor-kantor Al-Islah, menyita properti pemimpinnya, dan menculik anggota mereka di Sana'a dengan alasan "membersihkan elemen korup."

 * Al-Islah akhirnya memilih menarik diri dari konfrontasi langsung di Sana'a karena mereka melihat militer di bawah pengaruh Saleh tidak akan membantu mereka dan justru ingin melihat Al-Islah hancur di tangan Houthi.

Jadi, meskipun ada upaya untuk membuat pemerintahan koalisi, hal itu lebih merupakan "gencatan senjata politik yang dipaksakan" di mana Houthi memegang kendali senjata sementara Hadi memegang legitimasi kertas. Koalisi ini berakhir total saat Houthi melakukan kudeta penuh pada awal 2015.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages