JAKARTA – Sebuah fakta sejarah menarik yang sempat terkubur kini kembali mengemuka: keberadaan Akademi Militer Ma'had Baitul Maqdis di Kesultanan Aceh Darussalam. Lembaga pendidikan militer bergengsi ini memainkan peran sentral dalam mencetak para pejuang tangguh di garis depan pertahanan maritim dan darat kerajaan. Keberadaannya menepis anggapan bahwa pendidikan militer formal di Nusantara pada masa lampau hanya bersifat konvensional tanpa kurikulum terstruktur.
Akademi ini berdiri megah pada masa keemasan Kesultanan Aceh Darussalam, tepatnya di bawah kepemimpinan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil, yang bertahta antara tahun 1589 hingga 1604 Masehi. Periode ini adalah puncak kejayaan Aceh sebagai kekuatan maritim dan pusat peradaban Islam yang disegani di Asia Tenggara, sebuah era di mana kebutuhan akan personel militer yang terlatih sangatlah mendesak guna menghadapi ancaman kolonialisme.
Ma'had Baitul Maqdis dirancang sebagai institusi pendidikan militer yang komprehensif, terbagi menjadi dua jurusan utama yang berfokus pada kekuatan pertahanan. Terdapat jurusan Angkatan Darat, yang mendidik para prajurit untuk pertempuran di daratan, menguasai strategi taktis, penggunaan senjata, dan manuver pasukan. Sementara itu, jurusan Angkatan Laut mencetak para pelaut dan komandan armada yang ahli dalam navigasi, pertempuran laut, dan taktik maritim yang canggih.
Yang menjadikan akademi ini istimewa adalah keterlibatan langsung para ahli dari luar negeri. Sebagian besar instruktur di Ma'had Baitul Maqdis berasal dari Imperium Ottoman (Turki Utsmaniyah). Ini bukan sekadar kebetulan, melainkan cerminan dari hubungan diplomatik dan militer yang sangat erat antara Aceh dan Turki pada abad ke-16. Turki Utsmaniyah, sebagai kekuatan global kala itu, secara aktif mengirimkan bantuan teknis, militer, dan tenaga ahli ke Aceh untuk memperkuat pertahanan mereka dari agresi kekuatan Eropa seperti Portugis dan Belanda.
Para instruktur Ottoman membawa serta pengetahuan dan teknologi militer terkini dari salah satu imperium terbesar di dunia, mengajarkan disiplin ilmu kemiliteran, penggunaan artileri, hingga strategi perang modern pada masanya. Kontribusi mereka sangat vital dalam membentuk kualitas dan kemampuan para lulusan akademi.
Salah satu alumni paling legendaris dari Ma'had Baitul Maqdis adalah Laksamana Keumalahayati. Beliau adalah sosok pahlawan perempuan yang kemudian memimpin pasukan elit Inong Balee, yang terdiri dari para janda syuhada. Keahlian militer, strategi perang, dan keberaniannya dalam memimpin armada Aceh tak lepas dari pendidikan formal yang ia tempuh di akademi ini. Kisah kepahlawanannya, termasuk saat menumpas Cornelis de Houtman, menjadi bukti nyata kualitas pendidikan di Ma'had Baitul Maqdis.
Lokasi fisik akademi ini berada di daerah Bitay, yang kini merupakan bagian dari Banda Aceh. Nama "Bitay" ini bahkan konon menjadi asal mula sebutan "Klan Bitay", sebuah komunitas yang dikenal memiliki pola pikir idealis, mungkin sebagai warisan dari semangat juang dan intelektualitas yang ditanamkan di akademi tersebut.
Keberadaan Ma'had Baitul Maqdis adalah penegasan bahwa Kesultanan Aceh Darussalam tidak hanya unggul dalam perdagangan dan penyebaran agama, tetapi juga dalam inovasi militer dan pendidikan formal di bidang pertahanan. Akademi ini menjadi bukti nyata kapasitas Aceh untuk mengadaptasi dan mengintegrasikan pengetahuan global demi menjaga kedaulatan dan keamanan wilayahnya dari ancaman asing.
Meskipun nama akademi ini kurang dikenal secara luas dalam sejarah pendidikan militer global, perannya dalam membentuk karakter militer Aceh yang tangguh dan melahirkan pahlawan sekaliber Keumalahayati sungguh tak terbantahkan. Kehadirannya menunjukkan sebuah babak penting dalam sejarah pertahanan di Nusantara, di mana pendidikan formal menjadi fondasi kekuatan sebuah kerajaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar