Perkembangan pendidikan Islam di Sulawesi Selatan, khususnya di Tana Toraja, mulai menunjukkan geliat baru. Wilayah yang selama ini dikenal dengan tradisi adatnya yang kuat, ternyata menyimpan potensi besar dalam pengembangan pesantren modern berbasis dakwah digital. Melalui kegiatan Digital Dakwah Skill Training yang diinisiasi oleh program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) IAIN Parepare, terbukti pesantren di daerah tersebut mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilaksanakan di dua pesantren, yakni Pesantren Al Hidayah Kaduaja dan Pesantren Pembangunan Muhammadiyah Tana Toraja. Keduanya menjadi lokasi strategis karena telah memiliki akses awal terhadap media digital. Potensi ini kemudian diperkuat melalui pelatihan pembuatan konten dakwah yang baik dan beretika, sesuai tuntunan akhlak Rasulullah.
Ketua Prodi KPI IAIN Parepare, Nurhakki, menyebut kegiatan ini sebagai langkah penting untuk membangun SDM pesantren yang tidak hanya piawai dalam ilmu agama, tetapi juga terampil memanfaatkan teknologi untuk syiar Islam. Terlebih di daerah seperti Tana Toraja yang selama ini belum terlalu dikenal luas sebagai pusat pendidikan Islam berbasis digital.
Respon positif datang dari Kanwil Kemenag Sulsel yang mengutus langsung Kasi Pendidikan Diniyah Takmiliyah, Mujahid Dahlan, untuk memantau kegiatan ini. Ia memuji inisiatif pesantren-pesantren di Tana Toraja yang dianggap cepat berbenah dan bergerak maju di bidang dakwah digital. Lebih dari itu, penekanan terhadap aspek akhlak dan etika dalam setiap materi pelatihan juga mendapat apresiasi tinggi.
Namun, untuk memperkuat peran pesantren di Tana Toraja dalam ranah keilmuwan Islam, dibutuhkan institusi pendidikan tinggi agama di level Ma’had Aly atau cabang STAIN terdekat. Selama ini, para santri yang ingin melanjutkan studi ilmu agama formal masih harus keluar daerah karena belum tersedia kampus khusus di wilayah Toraja. Hal ini tentu menyulitkan bagi pesantren yang ingin mencetak kader dakwah lokal berkualitas.
Keberadaan Ma’had Aly di Tana Toraja akan menjadi solusi untuk melahirkan ulama dan cendekiawan muda yang memahami konteks sosial-budaya setempat. Mereka nantinya dapat merancang konsep dakwah yang sesuai dengan karakter masyarakat Toraja yang menjunjung tinggi nilai adat dan kearifan lokal. Selain itu, pesantren di wilayah ini bisa menjadi pionir pengembangan studi Islam berbasis tradisi Nusantara.
Langkah ini juga akan memperkuat peran pesantren sebagai pusat pendidikan Islam yang inklusif, bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga laboratorium sosial bagi dakwah berbasis media digital. Pesantren di Tana Toraja dapat menjadi model bagaimana pesantren tradisional bertransformasi mengikuti zaman tanpa kehilangan nilai-nilai aslinya.
Keberadaan pesantren dengan level pendidikan setara Ma’had Aly memungkinkan pengembangan kurikulum dakwah digital lebih sistematis. Selain itu, santri bisa mendapat bekal ilmu alat, bahasa Arab, tafsir, hadis, hingga filsafat Islam secara lebih mendalam. Hasilnya, pesantren tidak sekadar melahirkan pendakwah, tapi juga pemikir Islam yang kritis dan solutif.
Saat ini, banyak generasi muda Toraja muslim yang memiliki potensi intelektual, namun belum tersalurkan optimal karena keterbatasan akses pendidikan tinggi keagamaan di wilayah mereka. Dengan adanya cabang STAIN atau Ma’had Aly, bakat-bakat ini dapat dibina tanpa harus keluar daerah, sehingga potensi lokal tetap terjaga.
Kemenag Sulsel sebaiknya memanfaatkan momentum ini dengan mendorong pembukaan program Ma’had Aly atau minimal kampus filial STAIN di Tana Toraja. Kerja sama dengan pesantren yang telah terbukti adaptif dalam bidang dakwah digital bisa menjadi titik awal. Langkah ini sekaligus wujud komitmen pemerintah dalam pemerataan akses pendidikan Islam.
Di sisi lain, pesantren-pesantren di Tana Toraja juga perlu terus mengembangkan SDM pengajarnya agar mampu menyampaikan materi keislaman secara kontekstual dan moderat. Tidak hanya fokus pada kitab kuning, tapi juga kajian keislaman kontemporer dan isu-isu sosial yang berkembang di masyarakat.
Kurikulum dakwah digital yang telah dirintis melalui pelatihan KPI IAIN Parepare perlu dilanjutkan dalam skala lebih luas. Pesantren bisa membentuk divisi media dakwah permanen yang dikelola santri, alumni, dan dosen pendamping. Hal ini penting agar dakwah digital tidak bersifat insidental, melainkan menjadi aktivitas rutin yang terorganisasi.
Jika Ma’had Aly hadir di Tana Toraja, pesantren di wilayah ini dapat menjadi pusat kajian Islam lokal Nusantara. Kajian ini akan memperkaya khazanah keilmuan Islam Indonesia yang selama ini lebih banyak berkiblat ke Jawa dan Sumatera. Tradisi adat Toraja yang kaya bisa dipadukan dengan nilai-nilai Islam dalam perspektif keindonesiaan.
Digitalisasi dakwah juga menjadi peluang memperkenalkan Islam moderat khas Toraja ke dunia luar. Melalui platform digital, pesantren di daerah ini bisa berbagi kisah tentang kerukunan antarumat beragama, toleransi, dan akulturasi budaya yang berjalan harmonis di Toraja.
Penting juga ke depan dilakukan penguatan jaringan antarpesantren di Toraja dan sekitarnya, agar dapat saling bertukar pengalaman dalam mengembangkan dakwah digital. Kolaborasi ini bisa mempermudah standarisasi kurikulum dan pelatihan keterampilan media dakwah.
Jika semua ini terwujud, pesantren Tana Toraja bukan hanya dikenal karena tradisinya, tetapi juga menjadi ikon pesantren modern yang mampu mengintegrasikan dakwah berbasis adat dan teknologi digital. Ini peluang besar yang tak boleh dilewatkan, sekaligus bentuk keberpihakan nyata pada pemerataan pendidikan Islam di wilayah pinggiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar