Ketika Warga Palestina di Gaza Diberi Pilihan; Dibantai dengan Kekerasan atau Genosida Damai? - Manado Keren

Post Top Ad

Ketika Warga Palestina di Gaza Diberi Pilihan; Dibantai dengan Kekerasan atau Genosida Damai?

Ketika Warga Palestina di Gaza Diberi Pilihan; Dibantai dengan Kekerasan atau Genosida Damai?

Share This
Pada sejumlah pernyataan publik belakangan ini muncul retorika yang memuat ultimatum dan dukungan terbuka terhadap kampanye genosida Israel terhadap warga Palestina di Gaza — sebuah retorika yang, bila diterjemahkan ke praktik, menempatkan warga sipil pada risiko kehancuran massal dan membangkitkan istilah-istilah keras seperti “finish the job” yang pernah diungkapkan pemimpin politik. 

Bahasa yang menempatkan pilihan kekerangan antara “penyelesaian cepat” melalui pembantaian atau sebuah “penyelesaian damai” yang pada kenyataannya tetap menyisakan bentuk pembersihan etnis, perlu dibaca sebagai ancaman terhadap prinsip dasar hukum humaniter internasional, sebagaimana konferensi pers Benjamin Netanyahu dna Donald Trump baru-baru ini. Hukum internasional melarang serangan yang menargetkan warga sipil dan mewajibkan proporsionalitas serta pembedaan. 

Pernyataan Trump seperti kutipan yang menyebar viral — “Israel agreed to my plan. All Arab countries agreed. If Hamas refuses, Israel has my full support to finish the job.” — tidak bisa dilepaskan dari konteks politik dan diplomasi yang terpapar oleh ideologi kekerasan ala 'Perang Salib'; ia bukan sekadar retorika perang, melainkan juga instrumen tekanan yang dapat mempermudah eskalasi dan memperkecil ruang bagi solusi politik yang sah. 

Historisnya, ketika tokoh-tokoh berpengaruh menggunakan bahasa yang mengobarkan kekerasan total, hal tersebut sering mempercepat normalisasi tindakan yang melanggar hak asasi. Komunitas internasional memiliki pengalaman kelam di mana retorika semacam ini berubah menjadi tindakan sistematis yang menjerumuskan warga sipil ke dalam siklus kekerasan tanpa akhir. Warga Gaza kini seakan diberi dua pilihan genosida oleh Israel, dibantai dengan kekerasan atau dengan damai.

Dari sisi hukum, Konvensi PBB tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (1948) menetapkan bahwa setiap tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian suatu kelompok nasional, etnis, rasial, atau agama, merupakan kejahatan internasional yang harus dicegah dan dihukum. Tuduhan niat semacam itu harus dibuktikan secara objektif, tetapi pernyataan yang mengesankan niat pemusnahan menuntut respons hukum dan diplomatik segera. 

Namun Netanyahu seakan mengklaim bahwa kebijakannya untuk membantai warga Gaza merupakan 'berkah' bagi yang mendukung, merujuk pada keyakinannya. Semantara yang menolak genosida itu atau tidak bisa menerima kebejatan itu dianggak terkutuk. Pembantaian dan genosida di Palestina telah dilakukan Israel sejak Al Nakba 1948.

Di medan praktis kemanusiaan, ancaman “menyelesaikan” lawan dengan cara keras sudah tergambar dalam dampak langsung: ribuan korban sipil, kehancuran rumah sakit dan infrastruktur layanan dasar, serta krisis kelaparan dan kesehatan yang memperburuk penderitaan jutaan orang. Kata-kata yang mempermudah kekerasan berujung pada angka-angka kematian yang nyata. 
Membuat genosida yang damai atau pembantaian yang dipelopori lembaga internasional adalah paradoks moral: bentuk-bentuk kekerasan yang dirancang atau dibenarkan lewat proses politik tetap merupakan pelanggaran hak asasi; legitimasi institusional tidak menghapus tanggung jawab pidana individu atau negara di bawah hukum internasional. 

Ketika tokoh eksternal besar seperti kepala pemerintahan dicantumkan sebagai bagian dari perangkat kebijakan transisi — misalnya peran-peran yang dikaitkan publik dengan nama-nama tertentu dalam rencana pemerintahan transisional — kekhawatiran muncul bahwa legitimasi politik dipakai untuk menutup konsekuensi kemanusiaan yang berat. Kritik terhadap peran institusi semacam itu telah muncul di publik internasional. 

Retorika yang menyerukan “pembersihan” atau “penyelesaian” juga memicu ketakutan massal yang mendorong pengungsian skala besar; korban tidak hanya mereka yang tewas di medan tempur, tetapi juga rumah yang ditinggalkan, sekolah yang hancur, dan generasi anak-anak yang tumbuh dalam trauma. Data lapangan menunjukkan bahwa efek jangka panjang pada kesehatan mental dan kapasitas ekonomi akan mengguncang wilayah selama dekade. 

Di sisi politik internasional, dukungan eksplisit dari negara berpengaruh terhadap sebuah kampanye genosida dan tindakan militer yang agresif menimbulkan dilema: apakah dukungan semacam itu dapat dibenarkan sebagai dukungan keamanan, ataukah ia menjadi fasilitator pelanggaran HAM yang harus ditolak oleh komunitas hukum internasional? Banyak organisasi kemanusiaan dan pengamat menuntut pertanggungjawaban ketika dukungan politik meningkatkan risiko kejahatan internasional. 

Ada pula dimensi retorika: pernyataan bahwa “semua negara Arab setuju” atau klaim konsensus regional sering kali berjarak dari realitas diplomatik yang kompleks; banyak negara mengambil posisi hati-hati, dan dukungan publik dapat berubah bila konsekuensi kemanusiaan semakin tampak. Klaim-klaim tunggal tidak harus diterima tanpa verifikasi. 
Secara moral, menyamakan mekanisme politik dan hukum dengan instrumen pemusnahan harus ditolak. Lembaga internasional, pengadilan, dan proses rekonsiliasi justru hadir untuk mencegah pembalasan kolektif dan memastikan bahwa pelanggaran diadili, bukan dilanjutkan sebagai kebijakan negara. Menjadikan lembaga sebagai “sponsor” tindakan kekerasan adalah penyalahgunaan legitimasi. 

Dalam skenario kemanusiaan praktis, prioritas yang sahih adalah membuka koridor bantuan, melindungi warga sipil, menghentikan serangan ke infrastruktur sipil, serta menciptakan mekanisme aman bagi pengungsi. Ini bukan retorika: keputusan lapangan, logistik, dan finansial harus diarahkan untuk mencegah kelaparan dan epidemi yang sering mengikuti konflik intensif. 

Hukuman atas pelanggaran berat dapat dan harus ditegakkan melalui mekanisme yang sah: pengadilan nasional yang independen, pengadilan internasional seperti Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) bila yurisdiksi terpenuhi, dan komisi penyelidikan internasional untuk mengumpulkan bukti-bukti kejahatan perang atau genosida. Proses ini penting agar keadilan ditegakkan tanpa melanggengkan siklus balas dendam. 

Kritik terhadap bahasa “finish the job” bukan hanya retorika moral; ia memiliki implikasi hukum yang konkret. Jika perintah atau dukungan menghadirkan niat yang dapat ditafsirkan sebagai menghancurkan sebagian kelompok sipil, maka penyelidikan terhadap pernyataan dan tindakan yang menyertainya menjadi relevan untuk menilai kemungkinan unsur genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Di tengah tekanan politik, suara-suara kemanusiaan tetap penting: organisasi bantuan, lembaga kesehatan, dan kelompok masyarakat sipil lokal harus diberikan akses dan proteksi untuk bekerja. Masyarakat internasional perlu menekan semua pihak agar menghormati hukum humaniter dan memastikan pengiriman bantuan tak terhalang. 

Solusi politis yang berkelanjutan mensyaratkan dialog jangka panjang, jaminan keamanan yang konkret untuk warga sipil, komitmen pelepasan sandera melalui proses yang dapat dipertanggungjawabkan, serta rekonsiliasi yang melibatkan komunitas lokal—bukan solusi top-down yang memaksakan "penyelesaian akhir" tanpa pengakuan hak dasar rakyat. 

Retorika kekerasan juga memengaruhi opini domestik; pemimpin yang menggunakan bahasa keras sering kali menumbuhkan polarisasi yang membuat solusi kompromi menjadi semakin sulit. Di banyak konflik, momentum penyelesaian muncul saat pihak-pihak menahan diri dari bahasa yang mengesankan pembenaran untuk tindakan di luar hukum. 

Akhirnya, warga sipil harus ditempatkan di pusat kebijakan. Hukum internasional, norma kemanusiaan, dan mekanisme akuntabilitas ada untuk mencegah tragedi massal. Mendorong atau merayakan pembantaian, “dengan damai” atau sebaliknya, adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi fondasi komunitas internasional. 

Pernyataan Trump dan Netanyahu akan terus menjadi referensi penting dalam menilai arah kebijakan dan dampaknya. Tugas komunitas internasional, media, dan warga dunia adalah mengawasi, meminta akuntabilitas, memperjuangkan bantuan kemanusiaan, dan menegaskan satu hal sederhana: tidak ada pembenaran bagi genosida atau pembantaian — apapun label yang dipakai untuk menyamarkannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages