Kota Parapat di tepian Danau Toba tak hanya dikenal lewat keindahan alamnya, tapi juga menyimpan jejak panjang sejarah masuknya Islam di kawasan Tapanuli dan Simalungun. Wilayah ini sejak dahulu merupakan jalur penting migrasi, perdagangan, hingga dakwah yang dimulai dari pelabuhan kuno Barus di pesisir barat Sumatera.
Barus sejak abad ke-7 Masehi sudah dikenal sebagai bandar dagang internasional yang menjadi pintu masuk ajaran Islam ke pedalaman Sumatera. Dari sini, pengaruh Islam bergerak pedalaman dan ke timur ke kawasan Danau Toba. Parapat, yang terletak di jalur penghubung Toba dan Simalungun, turut menerima aliran dakwah sejak masa-masa awal.
Pada era kejayaan Sriwijaya, Sumatera san Parapat dan sekitarnya masuk dalam wilayah pengaruh politik maritim kerajaan itu. Ketika Samudera Pasai berdiri di abad ke-13, arus pedagang dan mubalig dari Pasai ikut membawa pengaruh ke wilayah Danau Toba, melalui jalur darat dari Barus menuju pedalaman, maupun melalu vassalnya Kesultanan Aru Barumun.
Sejarah terus berlanjut ketika Majapahit datang ke Sumatera, dan Pagaruyung di pedalaman Minangkabau mulai menanamkan pengaruhnya di sekitar Simalungun dan Tapanuli. Di masa itu, hubungan antar marga Batak dan suku Minangkabau semakin terjalin, termasuk marga Sinaga yang banyak berinteraksi dengan kelompok Chaniago dari Minang.
Menurut Pustaka Alim Kembaren berbahasa Karo, disebut bahwa orang Pagaruyung yang sudah pergi ke Mekkah menjadi leluhur berbagai marga di Karo dan Batak Toba merupakan pendiri beberapa pemukiman pertama di sekitar Danau Toba.
Memasuki abad ke-16, Kesultanan Aceh memperluas kekuasaan hingga ke Barus dan sekitarnya. Gelombang Dakwah Islam kembali menguat, dan beberapa ulama dari Aceh bergerak ke pedalaman Simalungun dan Toba. Menurut Hikayat Meukuta Alam, Sultan Aceh saat itu mengangkat Sisingamangaraja sebagai 'Khalifah Batak' untuk masyarakat Karo di kawasan.
Hingga masa penjajahan Belanda, dakwah Islam di kawasan ini terus berjalan dalam diam.
Di masa kolonial Belanda, muncul sosok penting dakwah di wilayah Parapat, yakni Oppung Lobe Tinggi Pardede, seorang ulama tarekat asal Balige. Pada tahun 1929, beliau berdakwah ke desa Buttunalasang, sebuah desa kuno, dan lereng Bukit Girsang Satu, memperkenalkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.
Nama ‘Lobe’ merupakan gelar dalam tradisi tarekat Islam di Sumatera. Tak sedikit tarombo Batak yang memuat nama Lobe seperti Lobe Samiun, Lobe Dugar, Lobe Mataniari, bahkan Tuan Lobe dari marga Simbolon. Tradisi ini menunjukkan akulturasi Islam dengan adat Batak yang sudah berjalan sejak lama.
Salah satu murid utama Oppung Lobe Tinggi adalah Oppu Raja Janggolaman Sinaga bersama beberapa penduduk. Marga Sinaga menjadi pewakaf lahan masjid di Parapat.
Marga Sinaga sendiri dalam tradisi Batak Toba dianggap identik dengan kelompok Chaniago Minangkabau. Meski di banyak wilayah sudah dipadankan dengan marga lain sesuai tempatnya dan mengalami percampuran identitas, sehingha sudah tidak sama lagi. Sinaga menjadi marga induk yang membawahi beberapa turunan marga.
Di wilayah Alas, Aceh Tenggara, masyarakat setempat masih meyakini bahwa sebagian keturunan Sinaga/Sinage berasal dari migrasi Minangkabau kuno yang menetap di dataran tinggi Sumatera bagian utara. Chaniago juga ada di kalangan Suku Kluet denkat Alas. Hal ini memperkuat teori migrasi dan dakwah awal yang berjalan beriringan di pedalaman Sumatera.
Parapat bukan hanya nama kota, tapi juga nama marga di beberapa komunitas Batak. Di Aceh Tengah, tepatnya di Kebayakan, terdapat sebuah tempat bernama Parapat, memperlihatkan sebaran, migrasi dan saling mempengaruhi di kalangan penduduk Sumatera.
Selain kekayaan sejarah dan tradisinya, Parapat menawarkan panorama Danau Toba yang luar biasa indah. Dari pinggiran kota ini, air danau yang tenang membentang luas, dikelilingi perbukitan hijau yang memesona. Setiap fajar dan senja, permukaan danau memantulkan warna langit yang memukau.
Angin sejuk pegunungan dan aroma hutan pinus menyelimuti suasana Parapat. Pelabuhan Ajibata yang ramai menjadi titik keberangkatan kapal ke Pulau Samosir, memperlihatkan denyut pariwisata dan perhubungan masyarakat sekitar Danau Toba.
Di sisi lain, Parapat masih menyimpan peninggalan kuno berupa batu megalitik, sisa-sisa benteng, rumah singgah Sukarno, dan tradisi lisan tentang leluhur Batak dan Simalungun yang hidup berdampingan dengan penyebar Islam.
Kini, Parapat menjadi persinggahan penting bagi wisatawan, peziarah, maupun peneliti sejarah. Kota kecil ini tak sekadar menyajikan panorama alam, tapi juga kisah peradaban yang merekatkan adat Batak dan tradisi Islam sejak berabad-abad silam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar