Fenomena joget-joget di media sosial kembali memantik perbincangan publik. Kali ini bukan hanya para selebritas yang menjadi sorotan, tetapi juga sejumlah anggota DPR yang turut meramaikan tren tersebut. Publik pun terbelah antara yang menganggapnya hiburan ringan dan yang menilainya sebagai bentuk ketidakpekaan di tengah kondisi ekonomi rakyat yang masih tertekan.
Di era algoritma media sosial, kehadiran figur publik memang seakan menjadi keharusan. Semakin sering mereka tampil, semakin besar peluang untuk viral dan menjangkau audiens luas. Namun, di balik strategi eksposur ini, muncul dilema etis yang tidak bisa diabaikan.
Sebagian kalangan menilai, ketika wakil rakyat atau tokoh publik ikut berjoget untuk konten, ada risiko menimbulkan luka sosial. Di tengah harga kebutuhan yang melonjak dan beban hidup yang berat, penampilan mereka bisa dipandang sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap kenyataan yang dihadapi masyarakat.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sampai sejauh mana figur publik harus mengikuti logika algoritma media sosial? Apakah semua tren layak diikuti, ataukah harus ada batas moral dan sensitivitas sosial yang dijaga?
Artis, misalnya, bisa saja beralasan bahwa joget hanyalah hiburan tanpa maksud merendahkan penderitaan orang lain. Namun bagi anggota DPR, sorotan lebih tajam mengingat mereka memikul tanggung jawab sebagai representasi rakyat.
Di satu sisi, media sosial memang menuntut kehadiran konsisten agar nama tetap berada di radar publik. Namun di sisi lain, konten yang dipilih seharusnya mampu mencerminkan empati dan kepekaan terhadap situasi bangsa.
Sebagian pengamat komunikasi menyebut, ada cara lain bagi figur publik untuk tetap relevan tanpa harus mengikuti tren dangkal. Mereka bisa mengedepankan konten edukatif, inspiratif, atau bahkan mengangkat kisah perjuangan masyarakat kecil yang jarang mendapat panggung.
Dengan begitu, figur publik tetap mendapat sorotan positif tanpa menimbulkan kesan meremehkan beban rakyat. Pilihan konten yang bijak bisa menjadi bentuk solidaritas simbolik yang justru memperkuat kedekatan dengan masyarakat.
Banyak warga mengungkapkan kekecewaan ketika melihat anggota DPR berjoget ria di ruang publik virtual, sementara masalah ketimpangan ekonomi belum terselesaikan. Kontras semacam ini berpotensi memperlebar jurang ketidakpercayaan terhadap institusi politik.
Media sosial memang membuka ruang demokratisasi ekspresi. Namun untuk tokoh publik, kebebasan itu seharusnya diimbangi dengan tanggung jawab moral. Apa yang bagi mereka sekadar hiburan, bisa diterima berbeda oleh masyarakat yang sedang terhimpit kesulitan.
Di sisi lain, sebagian kalangan juga menilai masyarakat tidak perlu terlalu reaktif. Joget di media sosial bisa dianggap hanya sebagai selingan, bukan representasi dari kerja atau kepedulian seorang pejabat. Pandangan ini menekankan perlunya keseimbangan dalam menilai.
Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa persepsi publik tidak bisa diabaikan. Figur publik hidup dari citra yang mereka bangun, sehingga setiap langkah di ruang digital memiliki konsekuensi sosial yang nyata.
Ketika rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, pejabat sebaiknya lebih berhati-hati memilih medium ekspresi. Kehadiran di media sosial bisa diarahkan untuk menyuarakan solusi, memberi dukungan, atau sekadar menunjukkan kepedulian pada masalah sehari-hari.
Jika ingin tetap relevan secara algoritma, figur publik bisa memanfaatkan kreativitas lain. Konten interaktif, diskusi singkat mengenai isu rakyat, atau sekadar menyebarkan informasi bermanfaat bisa menjadi alternatif yang tidak kalah menarik.
Dengan begitu, algoritma tetap terjaga, tetapi empati sosial tidak dikorbankan. Figur publik pun tetap tampil sebagai panutan, bukan sekadar pengikut tren sesaat.
Dilema joget di media sosial ini sesungguhnya mencerminkan dinamika zaman. Publik semakin kritis dan cepat menilai, sementara algoritma digital menuntut kehadiran tanpa henti.
Maka, yang diperlukan adalah kebijaksanaan. Figur publik harus mampu menimbang kapan mengikuti tren, kapan menahan diri, dan kapan menggunakan panggung digital untuk tujuan yang lebih substansial.
Jika kesadaran ini tumbuh, media sosial bisa menjadi ruang konstruktif yang mempertemukan hiburan dan empati. Figur publik tidak lagi terjebak sekadar mencari viralitas, melainkan mampu memanfaatkan teknologi untuk mendekatkan diri dengan masyarakat secara bermakna.
Akhirnya, tantangan bagi artis maupun anggota DPR adalah menjaga keseimbangan antara eksistensi digital dan tanggung jawab sosial. Joget di media sosial boleh saja, asal tidak melukai hati rakyat yang masih berjuang dalam ketimpangan ekonomi.
Karena pada akhirnya, bukan viralitas yang menentukan legitimasi seorang figur publik, melainkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat yang mereka wakili.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar