Serangan Israel ke Doha menimbulkan pertanyaan besar di kawasan. Qatar selama ini dikenal sebagai tuan rumah pangkalan militer terbesar Amerika Serikat di Timur Tengah, Al-Udeid Air Base. Dengan kehadiran infrastruktur keamanan yang begitu sensitif, publik sulit membayangkan sebuah serangan asing bisa terjadi tanpa sepengetahuan Washington.
Banyak analis menilai bahwa Israel tidak mungkin beroperasi di kawasan Teluk tanpa minimal koordinasi atau pembiaran dari sekutu utamanya, AS. Radar, intelijen, hingga jaringan komunikasi di pangkalan itu dianggap mustahil gagal mendeteksi aktivitas militer skala signifikan.
Kondisi ini mengingatkan publik pada kasus serangan PKK dan YPG ke Turki dari wilayah Suriah. YPG, yang menjadi tulang punggung SDF, sejatinya berada di bawah perlindungan Amerika Serikat di Suriah utara. Namun faktanya, kelompok itu tetap melakukan serangan ke dalam wilayah Turki.
Pertanyaan yang muncul hampir serupa: apakah benar AS tidak mengetahui aktivitas ini? Mengingat militer AS memiliki satelit, drone, dan jaringan intelijen yang kuat, sulit dipercaya bila mereka benar-benar “buta” terhadap pergerakan militan di kawasan operasi mereka sendiri.
Kecurigaan kemudian berkembang bahwa AS mungkin sengaja menutup mata, atau bahkan membiarkan serangan itu berlangsung, untuk menjaga pengaruh geopolitik. Bagi banyak pihak di Ankara, ini semakin menguatkan persepsi bahwa AS bermain dua muka dalam mengelola konflik di Suriah.
Dalam konteks ini, hubungan Turki-AS sempat berada pada titik terendah selama era pertama Donald Trump menjabat sebagai presiden. Naik-turunnya hubungan kedua negara tidak hanya soal Suriah, tetapi juga menyangkut pembelian alutsista.
Turki sejak lama berusaha membeli sistem pertahanan udara Patriot dari AS. Ankara menilai sistem itu penting untuk melindungi ruang udaranya dari ancaman potensial, baik dari Yunani maupun negara-negara lain di kawasan. Namun, upaya itu berulang kali diabaikan oleh Washington.
Ketidakpastian itu mendorong Turki mencari alternatif. Pilihan akhirnya jatuh pada sistem pertahanan udara S-400 buatan Rusia. Langkah ini langsung memicu kemarahan AS, yang menuduh Turki merusak standar interoperabilitas NATO.
Sebagai konsekuensi, Washington membatalkan penjualan jet tempur generasi kelima F-35 ke Turki. Padahal, Ankara sudah berinvestasi dalam program F-35, termasuk dalam produksi suku cadang pesawat itu.
Bagi Ankara, keputusan AS dianggap sebagai bentuk penghinaan sekaligus tekanan politik. Padahal, pembelian S-400 muncul karena kebutuhan mendesak yang tidak dipenuhi oleh Washington sendiri.
Hubungan dingin ini kemudian menambah ketidakpercayaan Turki terhadap keseriusan AS sebagai sekutu. Serangan dari kelompok PKK/YPG yang notabene berada di bawah naungan AS semakin memperkuat persepsi bahwa Washington tidak sepenuhnya berpihak pada kepentingan keamanan Ankara.
Sementara itu, kasus serangan Israel ke Doha memperlihatkan pola yang mirip. Jika benar-benar terjadi, sulit dipisahkan dari peran atau setidaknya sepengetahuan AS. Mengingat Doha adalah wilayah strategis dengan kehadiran pangkalan militer asing, mustahil aktivitas militer asing tidak terpantau.
Perbandingan ini menunjukkan satu hal penting: keterlibatan atau pembiaran AS dalam dinamika konflik regional seringkali menjadi bahan spekulasi sekaligus kritik. Washington tampak memilih posisi abu-abu demi menjaga fleksibilitas politiknya.
Namun, sikap ini juga membawa konsekuensi serius. Bagi sekutu seperti Turki, kepercayaan pada komitmen AS semakin terkikis. Bagi publik di Timur Tengah, AS kerap dipersepsikan sebagai aktor yang mengutamakan kepentingannya sendiri, tanpa memperhatikan stabilitas kawasan.
Dalam kasus Doha, publik menanti penjelasan resmi apakah serangan itu benar-benar bisa terjadi di bawah radar AS. Sama halnya dengan konflik di Suriah, di mana keberadaan YPG di bawah payung SDF dan perlindungan AS masih menimbulkan kontroversi hingga kini.
Akhirnya, pola ini menegaskan betapa sulitnya memisahkan isu militer, politik, dan kepentingan besar kekuatan global di Timur Tengah. Baik Turki, Qatar, maupun negara lain di kawasan, terus dihadapkan pada kenyataan bahwa sekutu mereka bisa sewaktu-waktu menjadi sumber masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar